Advertisement

LONG-FORM: Tumbal Nyawa, Perkelahian Suporter, & Kemenangan Putin atas Barat

Budi Cahyana
Selasa, 12 Juni 2018 - 12:25 WIB
Budi Cahyana
LONG-FORM: Tumbal Nyawa, Perkelahian Suporter, & Kemenangan Putin atas Barat Vladimir Putin - Reuters/Sergei Karpukhin

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Piala Dunia 2018 akan digelar di Rusia mulai Kamis (14/6) lusa sampai satu bulan ke depan. Polemik politik mengiringi penyelenggaraan turnamen olahraga terbesar ini. Presiden Rusia Vladimir Putin dituding menunggangi Piala Dunia 2018 untuk menunjukkan kepada Eropa dan dunia Barat bahwa negera tersebut tak bisa ditundukkan. Sayangnya, banyak yang dikorbankan demi kepentingan itu. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Budi Cahyana.

Ini adalah Piala Dunia yang berlumuran darah. Tuduhan itu dilontarkan lembaga-lembaga pembela hak asasi manusia dan negara-negara Barat. Human Rights Watch (HRW) pada 4 Mei lalu menurunkan laporan 44 halaman yang mendedahkan dosa-dosa Rusia demi menggelar kejuaraan yang rata-rata menyedot perhatian 3,5 miliar pasang mata dari sekujur Bumi.

Advertisement

“Sekarang adalah masa-masa yang mengerikan bagi penghargaan terhadap kemanusian di Rusia,” kata Direktur Program HRW Rusia Tanya Lokshina.

Menurut dia, krisis hak asasi manusia di negaranya sangat buruk, bahkan paling buruk sejak Uni Soviet runtuh pada 1991. Di tengah periode kelam itu, Rusia menjadi tuan rumah bagi 736 pemain, dan ratusan ofisial dari 32 negara peserta Piala Dunia.

Ada tiga noda yang bikin cemong wajah Rusia, yakni pelanggaran terhadap pekerja proyek stadion dan infrastuktur, pengekangan terhadap kebebasan sipil dan hak berekspresi, serta campur tangan Rusia dalam krisis tak berkesudahan di Suriah.

Ongkos yang dikeluarkan Rusia untuk membangun dan merenovasi 10 stadion mencapai US$11,8 miliar (setara Rp164 triliun). Bukan cuma uang yang dikeluarkan, tetapi juga nyawa manusia.

Organisasi pekerja konstruksi internasional, Building and Wood Workers International (BWI) menyatakan sejak 2016 hingga April 2018, 21 buruh meninggal dunia saat membangun stadion di enam kota: Saint Petersburg, Volgograd, Nizhny Novgorod, Sochi, Rostov-on-Don, Saransk. Mereka umumnya mati karena jatuh dari ketinggian atau serangan jantung.

Kematian pekerja proyek lumrah terjadi di negara-negara berkembang dan terutama Rusia. New York Times membuat perbandingan nyawa yang harus dijadikan tumbal demi menggelar turnamen olahraga: 70 pekerja dalam proyek Olimpiade Musim Dingin 2014 di Sochi, Rusia; 13 pekerja di Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil; dan enam buruh di Olimpiade 2018 di Beijing, Tiongkok. Sebagai komparasi, tak ada satu pun pekerja yang tewas dalam pembangunan infrastruktur untuk Olimpiada 2012 di London, Inggris.

Sistem ketenagakerjaan proyek stadion juga sangat amburadul.

“Kontraktor membayar pekerja semau mereka,” kata Aibek, pekerja dari Kirgistan.

Menurut laporan HRW, orang-orang yang membangun stadion Piala Dunia menggigil seharian karena bekerja dalam suhu minus 12 derajat Celsius tanpa perlindungan. Tak sedikit yang dilumpuhkan hipotermia. Buruh stadion tak dibayar secara rutin dan bekerja tanpa kontrak yang jelas. Pada Desember 2013, kontraktor pemugaran Stadion Olimpiade di Moskwa berutang US$8,3 juta (setara Rp115,6 miliar) kepada pekerja.

Di luar proyek tersebut, Rusia mengabaikan hak-hak kaum rentan. Pada Februari lalu, menurut Tanya Lokshina, pemerintah meloloskan undang-undang yang melemahkan korban kekerasan dalam rumah tangga. Isi beleid itu adalah jika korban tidak sampai dirawat di rumah sakit, kekerasan dianggap tidak ada.

“Hukum tersebut didukung kelompok konservatif yang mengklaim ingin memperkuat nilai-nilai keluarga Rusia,” ucap Lokshina.

Pemerintah lokal di Checnya dituding sangat diskriminatif terhadap kelompok minoritas yang punya orientasi seksual berbeda. Oyub Titiev, aktivis hak-hak sipil di Checnya dipenjara tanpa pengadilan. HWR bersama Amnesty International dan 14 organisasi nonpemerintah kemudian menggunakan Piala Dunia untuk menarik perhatian global. Mereka mendesak FIFA turun tangan menyelesaikan terhadap kasus yang melibatkan Titiev karena Checnya bakal menjadi pusat atensi dunia saat Piala Dunia 2018 berlangsung. Grozny, Ibu Kota Checnya, bakal dijadikan markas Timnas Mesir.

Pada 11 Mei, Presiden FIFA Gianni Infantino kemudian bertemu dengan Presiden Vladimir Putin untuk membicarakan kemungkinan pembebasan Titiev dan hak-hak hukum yang musti dia peroleh. Namun, sampai sekarang Titiev masih meringkuk di penjara.

Rusia juga antikritik. Pada 11 Mei, jurnalis olahraga dari Jerman, Hajo Seppelt, gagal mendapatkan visa untuk meliput Piala Dunia 2018. Seppelt bersama lembaga siaran publik ARD sangat kencang membongkar skandal doping dalam olahraga Rusia.

Kemenangan Putin

Borok dalam persiapan Piala Dunia itu tak menggoyahkan Rusia dan Vladimir Putin. Hubungan Rusia dan negara-negara Eropa mulai memanas ketika Februari 2014 Rusia menganeksasi Krimea dari Ukraina, negara pecahan Uni Soviet yang sangat dekat dengan Barat.

Dalam empat tahun belakangan, dukungan Putin terhadap rezim Bashar al-Assadi di Suriah bagaikan menyiramkan minyak ke bara permusuhan dengan Amerika dan sekutunya. Ketika Rusia ikut campur tangan dalam Pemilu Presiden 2016 Amerika yang dimenangi Donald Trump, eskalasi konflik makin meninggi. Awal Maret, relasi Rusia dengan Barat, terutama Inggris, mencapai titik nadir. Musababnya, Sergei Skripal, bekas intelijen militer Rusia yang kemudian menjadi mata-mata Inggris, kercunan tak lama setelah pulang dari Moskwa. Pemerintah Inggris mencurigai pemerintah Rusia mendalangi insiden itu. Kekacauan diplomatik pecah. Perdana Menteri Inggris Theresa May mengusir 23 diplomat Rusia. Amerika Serikat dan Uni Eropa kemudian menempuh langkah serupa, mengusir 100 diplomat Rusia.

May menyerukan boikot terhadap Piala Dunia 2018. Tak akan ada menteri maupun diplomat dari negeri Ratu Elizabeth yang menonton pertandingan, bahkan seandainya Inggris menjadi juara. Pemerintah Australia juga tak berniat mengunjungi laga Piala Dunia 2018, begitu juga dengan pemerintah Islandia. Presiden Prancis Emmanuel Macron menempuh cara yang lebih moderat, hanya akan menonton pertandingan apabila Les Bleus melaju ke semifinal. Sementara, kongsi Inggris di Eropa tak melontarkan kecaman keras terhadap Piala Dunia 2018.

Boikot itu tak banyak berpengaruh dari sisi olahraga karena kontestan Piala Dunia bernaung di bawah FIFA, sebuah organisasi nonpemerintah yang independen dari campur tangan negara dan dalam beberapa kasus malah bisa mendikte kebijakan domestik.

Ketika pemerintah Australia memboikot Piala Dunia, Federasi Sepak Bola Australia mengatakan FIFA juga mengampanyekan kesetaraan dan hak asasi manusia sehingga berpartisipasi dalam hajatan organisasi tersebut juga sebagai bentuk dukungan terhadap nilai-nilai kebaikan.

Dalam konteks ini, Putin, presiden terlama di Rusia setelah Joseph Stalin, tak bisa ditaklukkan.

“Piala Dunia adalah panggung yang hebat untuk Putin. Dia akan tampil seramah mungkin sebagai presiden dan diplomat,” kata Matthew Rojansky, Direktur Kennan Institute, lembaga riset politik internasional yang berbasis di Washington, Amerika Serikat.

Menjadikan Piala Dunia sebagai etalase bagi Putin untuk memamerkan keberhasilan dan kekuasaan juga diakui Menteri Luar Megeri Inggris Boris Johnson dan anggota Parlemen Inggris Ian Austin. Keduanya bahkan menyamakan cara Putin menggunakan Piala Dunia 2018 untuk memoles citranya di mata internasional mirip dengan cara Adolf Hitler memanfaatkan Olimpiade 1936 untuk mengibarkan panji-panji Nazi di Jerman.

Dmitry Bykov, penulis yang disegani di Rusia dan berkali-kali mengkritik Putin lewat komentar satire juga mengaitkan Piala Dunia 2018 dengan upaya membangun imajinasi dunia terhadap sosok Putin. “Dia butuh gengsi internasional dan dia akan melakukan segalanya untuk itu,” ujar Bykov kepada koran Rusia Sobesednik.

Perkelahian

Perseteruan di level negara menjalar di tingkat suporter dan menggambarkan ancaman lain di Piala Dunia 2018. Konflik ini sudah dimulai dua tahun lalu di Prancis. 11 Juni di Stade Velodrome, Marseille, Inggris dan Rusia berbagi angka 1-1 dalam laga pertama Grup B Euro 2016.

Namun, di tribune dan luar stadion, pendukung Inggris mendapat hasil yang berbeda. Fans Inggris yang pernah dikenal beringas dan memberi makna kebrutalan dalam kata hooligans, berubah menjadi cupu di hadapan suporter Rusia. Mereka babak belur dijotos dan ditendang.

“Suporter Rusia sangat terorganisasi. Badan mereka gempal dan kekar,” ujar Ian Allsop.

31 orang Inggris diopname di rumah sakit dan tiga orang Rusia dipenjara.

Putin, yang mahir main judo, menganggap tingkah suporter Rusia keterlaluan. Namun, dalam sebuah forum bersama sejumlah pengusaha, Putin melemparkan gurauan yang memuji kemampuan beladiri fans Rusia.

“Saya heran karena 200 suporter Rusia bisa bikin kocar-kacir ribuan orang Inggris,” ucap Putin yang langsung disambar gelak tawa hadirin.

Bagi orang Rusia, bikin bonyok suporter Inggris adalah kebanggaan.

“Suporter Inggris sangat keren. Mereka menemukan hooliganisme dan jika Anda bisa berkelahi dan mengalahkan mereka, tentu itu juga sangat keren. Selalu menyenangkan jika bisa mengalahkan kesebelasan Inggris di lapangan, dan juga selalu menyenangkan pula ketika bisa menghajar suporter Inggris,” kata Alexander Shprygin, pemimpin VOB, kelompok ultras di Rusia.

Reputasi Shprygin sebagai pembuat onar sudah dikenal di Eropa. Dia terlibat dalam kericuhan di Marseille dan dideportasi dari Prancis. Otaknya dipenuhi ide-ide ultranasionalis. Shprygin pernah dipotret sedang mengacungkan salam Nazi. Dia mengatakan Timnas Rusia seharusnya hanya diisi pemain-pemain dengan wajah Slavia.

Kala Putin menjadi Perdana Menteri, dia pernah dipotret berdampingan Shprygin dalam upacara pemakaman pendukung Spartak Moscow. Shprygin menjadi asisten Igor Lebedev, anggota Parlemen Rusia yang menyatakan Piala Dunia 2018 adalah ajang untuk memperlihatkan keindahan dan keramahan negara itu kepada dunia tetapi kerap mencuit di Twitter tentang pemaklumannya terhadap perkelahian suporter di tribune stadion

Football Against Racism In Europe (Fare), lembaga yang disponsori FIFA, membuat laporan tentang diskriminasi rasial selama 2015-2017 dan mengungkap koneksi VOB pimpinan Shprygin dengan politisi pendukung Putin. VOB dipakai untuk mengintimidasi dan menggebuk kelompok sipil yang rajin mengkritik Putin.

VOB sempat memiliki pengaruh besar, diberi kepercayaan Federasi Sepak Bola Rusia untuk mendistribusikan tiket pertandingan dalam laga-laga tandang tim Beruang Merah. Namun, ketika Shprygin ketahuan memimpin tawuran fans Spartak dan CSKA, VOB ditendang Federasi Sepak Bola Rusia.

Gagasan untuk bikin keributan masih sangat lekat di benak suporter Rusia. Awal Mei lalu, sebuah rekaman video berisi anak-anak yang dilatih berkelahi oleh berandalan Rusia beredar luas. Bocah-bocah itu dipersiapkan untuk berduel dengan suporter yang akan mendukung Inggris di Piala Dunia 2018.

“Beberapa ultras cilik ini siap membunuh. Mereka cukup kuat untuk bertarung melawan suporter Inggris,” ujar pria yang menjadi suporter Zenit St. Petersburg.

“Mereka akan menghadirkan neraka di Piala Dunia.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Giorgio Armani, Perancang Busana Ternama Italia Meninggal Dunia

Giorgio Armani, Perancang Busana Ternama Italia Meninggal Dunia

News
| Jum'at, 05 September 2025, 01:27 WIB

Advertisement

Trik dan Tips untuk Dapatkan Tiket Pesawat Murah

Trik dan Tips untuk Dapatkan Tiket Pesawat Murah

Wisata
| Rabu, 27 Agustus 2025, 20:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement