Kekerasan di Stadion Maguwoharjo, Jadi Jurnalis Sepak Bola Harus Tebal Mental
Advertisement
SLEMAN—Syarat menjadi jurnalis sepak bola seakan mirip dengan Gatotkaca, perlu mental baja dan fisik besi. Baik di dalam maupun luar stadion, jurnalis sepak bola berpotensi mendapatkan kekerasan. Dari yang ancaman kekerasan sampai pembunuhan, termasuk juga kekerasan fisik sampai pelecehan seksual.
Renanthera (nama samaran) sering menulis tentang sepak bola luar negeri dan Indonesia. Meski sama-sama bertema sepak bola, respon yang didapatkan penulis lepas asal DIY itu berbeda, setelah tulisan naik di berbagai media. Tidak ada masalah ketika dia menulis tentang pengaturan skor yang melibatkan tim Phnom Penh Crown di Kamboja, atau tulisan lain tentang sepak bola Thailand yang banyak diisi politisi korup, yang mencoba membangun tim profesional.
Advertisement
Namun ketenangan menulis sepak bola itu berubah. Renanthera mulai menulis klub sepak bola di kampung halamannya, yaitu tentang PSIM Jogja, PSS Sleman, dan Persiba Bantul. Tulisan pertama tentang panji sepak bola Bantul yang awalnya berwarna merah tergerus oleh warna biru dan hijau. Biru adalah panji PSIM sedangkan hijau milik PSS.
Setelah Bantul terjerumus di Liga 3, strata paling bawah dalam Liga Indonesia, para penggemarnya seakan berubah haluan menjadi pendukung PSIM dan PSS. “Karena tulisan ini, aku mendapat banyak pesan sekaligus penyangkalan. Media sosial benar-benar menakutkan. Orang-orang di media sosial bilang tulisan itu buruk, risetnya kurang akurat, dan banyak cacat logika di sana-sini,” kata Renanthera, Rabu (24/5/2023).
Ancaman-ancaman itu membuat Renanthera sempat takut keluar rumah. Padahal saat dibaca ulang, dia merasa tidak ada yang salah. Tulisan berasal dari narasumber yang paham betul topik itu. Meski pernah mendapat ancaman, bukan berarti Renanthera berhenti menulis.
Dia kembali membahas sepak bola di DIY, dengan tema anak-anak kecil yang mendukung tim lokal dipaksa membenci tim lain tanpa sebab yang mereka pahami. Inti tulisan itu, generasi tua yang terus mencekoki generasi muda dengan sentimen membenci tim tetangga.
Apabila tulisan sebelumnya berdasarkan wawancara, tulisannya kali ini merupakan pengalaman pribadi. Heboh lagi lah tulisan itu. Banyak pembaca yang bilang apabila menariknya sebuah derby ya persaingannya. “Padahal, dalam tulisan itu aku tidak mempermasalahkan persaingan, melainkan lebih mempertanyakan apakah penggemar bola anak pantas dijejali dendam kesumat generasi tua?” katanya.
Dari tulisan-tulisannya, berbagai jenis ancaman pernah Renanthera dapatkan. Termasuk fitnah apabila dia salah satu bagian dari suporter sepak bola yang tidak suka kelompok lainnya. Pernah juga dicari keberadaan rumahnya. “Katanya orang media itu enggak pernah bener. Selalu sentimen sama suporter dan bikin tambah ruwet,” kata jurnalis berusia 23 tahun ini.
Dari survei terbuka yang kami sebarkan pada jurnalis yang meliput sepak bola di DIY dan Jawa Timur, 5 dari 15 kasus kekerasan digital pada jurnalis yang meliput sepak bola jenisnya berupa penyebaran informasi yang tidak benar tentang jurnalis di media sosial. Contoh penyebaran informasi yang tidak benar seperti tuduhan apabila jurnalis memihak atau bagian dari klub sepak bola tertentu. Tuduhan ini biasanya menyasar jurnalis yang sedang memberitakan atau menulis tentang suporter.
Untuk urutan terbanyak kedua kekerasan jurnalis secara digital berupa ancaman kekerasan fisik. Contohnya seperti ancaman pemukulan sampai pembunuhan di media sosial. Ancaman ini bisa melalui komentar maupun chat pribadi di media sosial. Di samping dua jenis kekerasan digital tersebut, jenis lainnya berupa masing-masing 3 kasus terkait dengan komentar body shaming di media sosial serta doxing atau penyebaran identitas pribadi di internet.
Mungkin kamu menganggap ancaman atau kekerasan secara daring yang Renanthera alami biasa-biasa saja. Tapi mari kita baca pengalaman Kanaya (nama samaran) saat meliput langsung pertandingan di Stadion Maguwoharjo.
Tak Mau Lagi Meliput Sepak Bola
Kala itu, pertandingan antara PSS Sleman dan Arema Malang berakhir rusuh. Setelah menunggu berjam-jam sampai kondisi aman, dan hendak pulang dengan sepeda motornya, Kanaya kaget. Jok motornya tidak ada, kedua bannya bocor, pelindung knalpot hilang, dashboard belakang dan depan pecah, semua lampu pecah, karet penutup tangki bensin hilang (hanya karetnya), dan semua isi jok hilang kecuali jas hujan.
Semua bermula pada hari pertandingan yang Kanaya anggap akan menarik. Dua klub sepak bola besar akan bertanding. Tim yang juga sama-sama memiliki basis suporter banyak. Benar saja, sampai di stadion saat pertandingan akan segera dimulai, suporter dari kedua tim sudah banyak memenuhi tribun. Ada pula para pejabat, termasuk Kapolda DIY.
Pertandingan berlangsung sekitar pukul 18.00 WIB. Babak pertama berjalan lancar, meski saling ejek antar suporter sudah mulai terdengar. PSS Sleman kala itu unggul. Memasuki babak kedua, rusuh mulai terjadi. Antar suporter saling lempar botol. Meski mulai rusuh, pertandingan di lapangan masih berjalan normal. PSS Sleman kembali menciptakan gol. Saling ejek antar suporter semakin ramai terdengar.
“Ada yang lempar botol ke lapangan, akhirnya rusuh. Sempet ditenangin, udah kondusif lagi, tapi rusuh lagi, sampai pertandingan diberhentikan. Kapolda sampai turun tangan. Akhirnya pertandingan dimulai lagi, tapi baru beberapa menit, rusuh lagi, dari [tribun] atas, ada yang ngelempar pecahan keramik,” kata Kanaya yang merupakan seorang jurnalis perempuan, Kamis (6/7/2023).
Kerusuhan kali ini yang membuat semua orang berhamburan. Tidak mungkin lagi melanjutkan pertandingan. Barang-barang yang dilempar juga tergolong berbahaya, pecahan keramik sampai botol kaca yang entah didapat dari mana. Banyak suporter yang terkena lemparan itu.
Dengan naluri jurnalisnya, Kanaya mencoba merekam kerusuhan di Stadion Maguwoharjo. Bahkan angle berita dan arah pemberitaan sudah terlintas di kepalanya. Meski yang mungkin Kanaya lupa, barang-barang yang melayang bisa saja mengenainya.
Untungnya, ada jurnalis senior yang menarik Kanaya untuk menjauh dari kerusuhan. “Disuruh cari tempat aman sambil ambil gambar,” katanya.
Pindah ke lobi stadion, Kanaya sudah melihat banyak suporter yang menjadi korban kerusuhan. Banyak yang luka ringan, sedang, dan berat. Untungnya tidak ada korban jiwa. Saat melihat ke arah luar lobi, atau di sekeliling stadion, kerusuhan ternyata lebih liar.
“Senior bilang, ‘Kamu ambil berita boleh, tapi juga pikirin keselamatan kamu juga.’ Waktu itu emang baru pertama kali liputan sepak bola yang rusuh, masih bingung, enggak kepikiran [bisa jadi korban]. Dibilangin kalau berita enggak lebih penting dari nyawa,” kata Kanaya.
Kondisi seperti ini berjalan berjam-jam. Kanaya baru bisa pulang setelah sesi konferensi pers selesai, sekitar pukul 24.00 WIB. Dia berjalan ke arah parkiran di Barat Daya stadion. Saat berjalan ke arah motor Mio Soul-nya, Kanaya melihat ada yang tidak beres.
Benar saja, jok motornya tidak ada, kedua bannya bocor, pelindung knalpot hilang, dashboard belakang dan depan pecah, semua lampu pecah, karet penutup tangki bensin hilang (hanya karetnya), dan semua isi jok hilang kecuali jas hujan. Tidak hanya itu, helm juga rusak dan ada bagian yang menandakan bekas dibakar. Kabel-kabel di motor juga dipreteli. Sebenernya Kanaya sempat bingung juga, ‘pelakunya orang bengkel atau gimana, bisa sampai sedetail ini ngerusaknya.’
Teman-teman jurnalis yang kemudian tahu kejadian itu langsung menghampiri Kanaya. Anehnya, hanya motor Kanaya yang rusak di antara deretan motor lain yang sama-sama sedang parkir. Motor-motor di sampingnya aman-aman saja. Dia sempat berpikir, apakah gara-gara plat motor yang bukan berasal dari daerah DIY. Plat motornya H, alias berasal dari daerah Semarang. Tapi ini kan pertandingan PSS Sleman dan Arema Malang, jadi tidak ada hubungannya. Semua orang sempat bingung.
“Sebenernya di helmku ada stikernya, stiker Arema,” kata Kanaya.
Barulah semua terang benderang. Ada dugaan pengrusakan motor itu lantaran stiker yang tertempel di helm. Kanaya bukan fans Arema, stiker itu ditempel oleh kakaknya. Kanaya juga sudah lupa apabila ada stiker itu di helmnya. Sesuatu yang setelahnya dia copot dan diganti dengan stiker identitas jurnalis. Para jurnalis kemudian mengantar dan membawakan motor Kanaya pulang.
Sisanya, Kanaya melaporkan ke manajemen PSS Sleman dan kantor polisi. Perlu adanya bukti yang kuat untuk melaporkan kasus itu ke polisi, yang membuat Kanaya agak bimbang. Sementara dari manajemen PSS Sleman tidak kunjung memberikan kepastian. Alhasil, tidak ada tindak lanjut dari kasus yang sudah terjadi beberapa tahun lalu tersebut.
“Sampai sekarang aku belum mau liputan sepak bola lagi, trauma,” katanya.
Dalam survei kami, setidaknya ada 20 kasus kekerasan pada jurnalis yang sedang meliput sepak bola di Stadion Maguwoharjo. Untuk latar belakang pelaku, terbanyak berasal dari suporter klub dengan jumlah 15 kasus. Sisanya, dengan masing-masing 1 kasus, pelaku berasal dari petugas media official, pemain sepak bola, aparat keamanan, rekan sesama jurnalis, dan tidak diketahui identitasnya.
Sebanyak 9 dari 20 kasus kekerasan yang terjadi di Stadion Maguwoharjo merupakan ancaman atau kekerasan lisan non seksual. Jenisnya beragam, termasuk ancaman penganiayaan sampai pembunuhan. Tidak hanya ancaman dan kekerasan lisan non seksual, jenis kekerasan lain yaitu ancaman atau kekerasan lisan seksual dan serangan fisik non seksual yang masing-masing jumlahnya 3 kasus. Jenis kekerasan lain seperti serangan fisik seksual 2 kasus, diskriminasi berbasis gender dan difabel 2 kasus, dan body shaming 1 kasus.
Kembali ke kejadian yang menimpa Kanaya, mungkin banyak yang berpikir apabila itu kesalahan atau kelalaian perkara stiker. Baiklah, sekarang mari ikuti kisah dari Diandra (nama samaran), yang agak susah menyebutnya suatu kelalaian. Ini tentang pelecehan seksual pada jurnalis perempuan di dalam Stadion Maguwoharjo saat sedang meliput pertandingan.
Stadion Harusnya Ramah Semua Kalangan
Saat Diandra sedang melintas di sekitar gerbang pemisah antara ruang media dan penonton umum, ada salah satu suporter tuan rumah yang mencolek payudaranya. Dia melaporkan kasus itu ke pihak keamanan. Pelaku meminta maaf dan menandatangani surat untuk tidak melakukan hal itu lagi. Namun setelahnya tidak ada kabar sanksi yang lebih konkret.
Hilangnya kabar tentang sanksi pelaku berbanding terbalik dengan trauma yang Diandra rasakan. “[Dampak dari] pelecehan seksual butuh pemulihan psikologi,” katanya, Jumat (4/8/2023). “Terakhir pernah mendapatkan pelecehan dari perangkat pertandingan yang membuat takut ketemu orang tersebut. [Pernah juga perlu] bertemu dengan psikiater, memastikan mental harus kuat dulu sebelum melihat up to date yang terjadi.”
Sebagai perempuan yang sudah bertahun-tahun menjadi jurnalis, termasuk banyak meliput sepak bola, beberapa kasus lain pernah Diandra alami. Beberapanya seperti terjebak di tengah-tengah bentrok suporter sampai ancaman di media sosial karena suatu pemberitaan. Ancaman berupa kata-kata yang ingin melakukan kekerasan fisik sampai pembunuhan. Pernah juga diserang netizen karena suatu kejadian, sampai tidak bekerja selama dua bulan.
Dalam survei kami di Stadion Maguwoharjo, dari 9 kasus ancaman atau kekerasan non seksual, 6 kasus menyasar jurnalis laki-laki dan 3 perempuan. Sementara dari 3 kasus ancaman atau kekerasan lisan seksual di stadion yang sama, 1 kasus menyasar laki-laki dan 2 perempuan.
Beralih pada kasus serangan fisik non seksual, kami menemukan ada 3 kasus yang pernah terjadi di Stadion Maguwoharjo, yang menyasar pada jurnalis. Untuk kasus serangan fisik seksual, ada 2 temuan yang menyasar jurnalis perempuan. Sementara pada kasus diskriminasi berbasis gender dan difabel, terdapat 2 kasus yang semuanya menyasar jurnalis perempuan.
Bagi yang ingin meliput atau menonton sepak bola di stadion, Diandra menyarankan untuk tidak datang sendiri. Setidaknya mengajak teman yang bisa dihubungi atau membantu sewaktu-waktu.
Masih adanya potensi kekerasan yang terjadi pada kerja-kerja jurnalis juga tertera dalam tesis berjudul Cara Kerja Wartawan Sepak Bola Indonesia (Studi Etnografi Adaptasi Wartawan Desk Sepak Bola di Jawa Pos Radar Jogja, Goal Indonesia, dan Bola dalam Menghadapi Kekerasan dan Dinamika Kerja di Tahun 2021). Thesis ini karya Hery Kurniawan yang menempuh S2 di UGM. Dia menemukan masih banyaknya tantangan kerja jurnalis sepak bola di lapangan. Tidak hanya potensi kekerasan fisik maupun verbal, namun juga tantangan lainnya.
“Seperti upah yang dinilai masih kurang layak, lalu masih adanya kekerasan yang menimpa para wartawan sepak bola tersebut. Juga beban kerja yang berat harus ditanggung oleh para wartawan sepak bola Indonesia. Apalagi sejak awal tahun 2020 lalu, Indonesia juga dilanda Pandemi Covid-19,” kata Hery.
Selain itu, sebagian jurnalis sepak bola di Indonesia belum mendapatkan beberapa jaminan wajib dari kantornya. “Seperti jaminan kesehatan atau bahkan gaji yang tetap. Beban kerja wartawan sepak bola Indonesia juga berbeda-beda sesuai dengan kebijakan dari kantor masing-masing,” katanya.
Memilih Setia pada Profesinya
Pada akhirnya, meliput sepak bola terkadang lebih dari sekadar mata pencaharian, namun karena rasa cinta. Tentu akan lebih baik apabila kerja-kerja jurnalis di dunia yang mereka cintai, bisa lebih aman dan jauh dari potensi kekerasan dalam berbagai bentuk. Pernah merasakan beberapa bentuk kekerasan, Diandra merasa perlu adanya kehati-hatian dan tindak lanjut.
“Jangan diam, harus dilawan biar tidak kebiasaan,” kata Diandra. “Waktu terakhir liputan di Stadion Maguwoharjo, empat bulan lalu sudah ada sekat cewek dan cowok serta anak-anak untuk masuk ke tribun stadion.”
Diandra tidak sendiri, berdasarkan data yang kami himpun melalui kuesioner terbuka, dari sampel 32 jurnalis, 16 diantaranya tidak merasa ada dampak kekerasan terhadap kerja-kerja meliput sepak bola di Stadion Maguwoharjo. Sementara 6 jurnalis merasa terdampak kerja-kerja meliput sepak bola atas adanya kasus-kasus kekerasan. Bagi yang terpengaruh dengan kekerasan saat meliput, salah satunya lantaran tidak bisa keluar dari traumanya.
Kami juga bertanya pada para jurnalis, apakah pernah untuk tidak memberitakan atau menyimpan informasi tentang sepak bola karena takut, lantaran dia pernah mendapat kekerasan saat meliput sepak bola di Stadion Maguwoharjo. Hasilnya, 30 jurnalis tidak takut memberitakan informasi tertentu tentang sepak bola. Hanya ada satu jurnalis yang sering tidak memberitakan informasi tertentu dalam sepak bola karena takut.
Hampir sama dengan Diandra, meski opininya tentang sepak bola lokal tidak jarang memunculkan ancaman, Renanthera merasa tradisi menulis opini harus dipertahankan. Dengan opini-opini ini, tim yang keluar jalur bisa diingatkan.
“Jika suporter percaya bahwa tulisan punya kekuatan menggoyang manajemen tim, aku rasa banyak tim yang akan terselamatkan dari orang-orang busuk di dalam tubuh manajemen. Tulisan-tulisan opini progresif pernah dibuat oleh para pendukung PSS Sleman untuk mengusir Marco, Arthur, dan jajarannya yang dianggap biang keladi kerusakan tim,” katanya.
Adanya tulisan atau pemberitaan tentang sepak bola yang bisa membawa perubahan, merupakan sesuatu yang Manaswari (nama samaran) percayai selama ini. Selama enam tahun bekerja sebagai jurnalis sepak bola, dia menganggap suporter terbagi dalam berbagai tipe, yang fanatik buta dan dewasa. Ada yang tidak mau klubnya diberitakan jelek, ada pula yang memang menerima apabila faktanya memang demikian.
Justru dengan ‘kedekatan’ jurnalis dan suporter, bisa menjadi ruang menyuarakan unek-unek suporter yang nantinya bisa didengar manajemen atau pihak terkait. “Misal tentang kenaikan tiket [pertandingan] PSS Sleman, [kami sebagai jurnalis] butuh tanggapan suporter, secara enggak langsung, mereka berterima kasih, karena banyak yang bilang itu mahal, siapa tahu [nantinya] diturunin [harga tiketnya],” kata Manaswari.
Entah baik atau buruk, Manaswari tetap akan memberitakan informasi tentang sepak bola yang dia dapatkan. Apabila ada yang tidak berkenan atau justru marah saat klubnya diberitakan, Manaswari siap untuk bertemu dan diskusi. Mencari tahu mana yang salah atau keliru. Selama memang tidak mengada-ada, dia berani mempertanggungjawabkan tulisannya.
Dengan memberitakan apa adanya, justru itu cara menjaga sepak bola Indonesia menjadi lebih baik ke depannya. Apabila tidak karena menyukai sepak bola, mungkin tidak akan Manaswari berkecimpung ke dunia maskulin dan rawan kekerasan ini.
Untungnya, meski dia perempuan dan sering meliput di stadion yang mayoritas laki-laki (baik sesama rekan jurnalis maupun penonton), Manaswari merasa tidak ada perbedaan perlakuan. “Enggak merasa ada perbedaan perlakuan [meski aku perempuan]. Para senior [jurnalis] juga mengayomi. Jadi wartawan malah lebih aman, ada tribun dan ruang sendiri, dan netral,” katanya.
Metode penelitian:
Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar kuesioner secara terbuka kepada jurnalis, suporter, tim ofisial, dan masyarakat umum yang memiliki pengalaman menonton sepak bola di Stadion Maguwoharjo Sleman dan Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya. Kuesioner dibagikan mulai 7 Juni 2023 hingga 6 Agustus 2023. Kami menargetkan 200 sampel dengan margin error 10 persen. Ada 215 responden yang mengisi kuesioner, namun hanya 203 responden yang memenuhi kriteria sampel. Adapun kriteria sampel terpenuhi apabila responden memiliki pengalaman langsung menonton sepak bola di Stadion GBT dan/atau Maguwoharjo, serta menjawab seluruh pertanyaan dalam kuesioner.
Dari 203 responden yang memenuhi kriteria, rinciannya sebanyak 90 responden pernah menonton sepak bola di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya, 74 responden pernah menonton sepak bola di Stadion Maguwoharjo Sleman, dan 39 responden pernah menonton sepak bola di kedua stadion tersebut.
Adapun latar belakang dari 203 responden terdiri dari 154 suporter, 5 pemain sepak bola, 41 jurnalis, dan 3 orang terdiri dari ofisial tim, fotografer, serta masyarakat umum.
Riset:
Sirojul Khafid (Harian Jogja) dan Rizka Nur Laily Muallifa (Merdeka.com)
Desainer Infografis:
Rizka Nur Laily Muallifa
Karya ini merupakan bagian dari program Jaring Aman yang diselenggaran Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) bersama TIFA Foundation dan Human Right Working Group (HRWG)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Polisi Sebut Bandar Judi Online yang Melibatkan Komdigi, Setor Uang lewat Money Changer
Advertisement
Menikmati Keindahan Teluk Triton Kaimana, Tempat Wisata Unggulan di Papua Barat
Advertisement
Berita Populer
- Asal Mula KPU dan Timses Paslon 02 Harda-Danang Layangkan Surat Keberatan Terkait Debat Publik Pilkada Sleman
- Perkuat Ketahanan Kesehatan Iklim, UGM Ajak Mahasiswa Internasional ke Kulonprogo
- Wajah Baru Alkap DPRD Kota Jogja, Bapemperda Jadi Penentu Kinerja Legislasi
- Pelayanan Publik, Lima Kemantren Raih Penghargaan Kinerja Terbaik
- Jadwal Terbaru KRL Solo Jogja, Rabu 6 November 2024, Berangkat dari Stasiun Jebres hingga Tugu Jogja
Advertisement
Advertisement